Main Cast:
- Kim
Kyoung Jae (U-KISS's Eli)
- Lee
Ji Hoon (C-REAL's Effie)
***
Effie berlari kecil menuju kantor
NAP Entertainment, kantor agensinya, untuk latihan dance di sana. Dilirik Gucci-nya dengan panik. Gawat! Telat setengah jam! Gimana nih?!, batinnya gelisah. Dipercepat
langkahnya dengan sekuat tenaga. Baru saja dia hendak mendorong pintu masuk
kantor, seseorang membuka pintu dari dalam. Terlambat bagi Effie untuk
menghentikan kakinya yang masih berlari, sehingga dia menabrak orang yang
membuka pintu itu dan keduanya tersungkur dan meringis kesakitan.
“Kau tidak apa-apa?” tanya
seseorang yang tadi ditabraknya. Lelaki itu sudah berdiri dan mengulurkan
tangannya pada Effie. Tampak jelas di wajahnya kalau lelaki itu sedang menahan
kesakitan.
Effie menyambut uluran tangan itu,
lalu dia berdiri dengan bantuan orang yang ditabraknya tadi. Kakinya lemas.
Tapi, begitu ingat tujuannya datang ke sini, tak lagi dihiraukan kakinya itu.
“Ya, aku baik-baik saja,” jawabnya sambil melepaskan tangannya yang masih
dipegang lelaki itu. “Maafkan aku! Aku sedang terburu-buru dan tidak sengaja
menabrakmu. Sekali lagi, maafkan aku!” aku Effie sambil membungkuk pada lelaki
itu.
“Ya, tidak apa-apa…”
Merasa tidak ada lagi yang harus
dibicarakan, Effie berniat segera pergi ke tempat latihannya. “Aku harus pergi
sekarang juga. Sampai jumpa!’ pamitnya tergesa-gesa. Dia berlari kecil dengan
langkah yang terpincang-pincang. Kakinya masih lemas dan sekarang terasa
sedikit perih. Dan dia masih tidak mempedulikan itu. Aku pasti akan dihukum atas keterlambatanku!
***
“Kau terlambat empat puluh lima
menit, Nona Lee!” seru Chemi menyambut kedatangan Effie.
“Maaf… maafkan aku…” kata Effie
dengan napas naik-turun. Matanya mengelilingi ruangan. “Mana Rijin Oppa?” tanyanya setelah tidak menemukan
pelatih dance mereka.
“Hari ini Rijin Oppa tidak mengajari kita dance,” jawab Redee. Wajahnya tampak
bahagia sekali saat menjawab pertanyaan itu.
“Dan sepertinya kau bahagia dengan
ketidakadaan Rijin Oppa di sini,”
canda Effie sambil tersenyum. Dia sudah duduk di lantai ruangan dengan kaki
terjulur lurus ke depan.
“Tidak!” bantah Redee cepat. “Rijin
Oppa kan baik pada kita. Bagaimana
mungkin aku bahagia? Dan kurasa aku akan merindukannya selama dia tidak ada di
sini.”
“Rijin Oppa mengambil cuti untuk menemani ibunya yang sedang sakit.
Sekitar tiga hari. Tadi Jungwoon Oppa
yang bilang begitu,” kata Chemi yang diangguki Effie.
“Eonnie, pengganti Rijin Oppa
tampan sekali lho!” seru Lenny heboh pada Effie.
“Benarkah?” tanya Effie acuh tak
acuh.
“Iya, Eonnie. Tampaaann sekali!” Ann J yang menjawab, tak kalah heboh.
“Hanya sekali lihat saja, kuyakin, Eonnie
bisa jatuh cinta padanya!”
Effie tertawa kecil menanggapi
kalimat Ann J yang hiperbola. Sementara Chemi dan Redee saling pandang, lalu
menggeleng-geleng kepala.
“Kalian norak banget! Kayak tidak
pernah lihat namja tampan saja,” omel
Chemi pada Ann J dan Lenny.
“Biar saja! Toh Chemi Eonnie juga memuji ketampanan namja itu tadi,” balas Lenny tak mau
kalah.
“Sudah, sudah… “ lerai Effie
sebelum Chemi sempat membalas Lenny. “Terus, mana pengganti Rijin Oppa?”
“Izin keluar. Tidak bilang mau
kemana,” jawab Ann J.
Bertepatan selesainya Ann J
menjawab pertanyaan Effie, pintu ruangan itu berderit terbuka. Tampak seorang
lelaki yang baru saja membuka pintu dan hendak masuk.
Effie tersentak kaget menyadari
siapa lelaki itu. Dan tampaknya lelaki itu juga cukup kaget dengan keberadaan
Effie di sana. Agak lama, keduanya bersitatap dalam diam.
“Oppa, Effie Eonnie sudah
datang!” seru Lenny sambil memegang lengan Effie.
“Iya, Oppa. Kita mulai saja latihannya!” pinta Redee.
Si lelaki tersenyum pada lima gadis
di hadapannya itu. Ditutup pintu dengan pelan, lalu kembali menatap mereka.
“Oke, kalian lakukan pemanasan sendiri-sendiri dulu selama lima belas menit!”
katanya yang langsung diiyakan para gadis. Lelaki itu kembali menatap Effie.
“Kau istirahat saja dulu. Bila istirahatnya kau rasa cukup, segera lakukan
pemanasan ringan,” katanya pada Effie.
Chemi, Redee, Ann J, dan Lenny
spontan menatap Effie dengan dahi berkerut bingung. Sementara yang ditatap
menundukkan wajahnya, lalu mengangguk kikuk untuk menjawab perintah pelatih
barunya.
“Okay, girls, start it now!” seru si lelaki menyemangati.
***
Effie menghela napas berat sambil
memasukkan handuk kecilnya ke dalam tas. Eonnie
dan dongsaeng-dongsaeng yang menyebalkan!, batinnya kesal. Entah apa yang mereka pikirkan sehingga tega meninggalkanku bersama
pengganti Rijin Oppa ini.
“Sudah siap pulang?” tanya si
lelaki, mengejutkan Effie.
Effie mengangguk kikuk, lalu
keduanya keluar ruangan. “Oppa tidak
keberatan kalau kita berjalan kaki? Apartment
kami tidak terlalu jauh dari sini kok,” tanyanya ketika mereka sudah keluar
dari kantor NAP Entertainment.
“Aku tidak keberatan,” jawab si
lelaki ringan. “Ada baiknya teman-temanmu memintaku untuk menemanimu pulang.
Sudah jam delapan malam,” katanya setelah melirik Rolex-nya. “Bagaimana kalau
kita mampir untuk makan malam? Kau tidak lapar?”
“Makan di apartment kami saja,” Effie menolak secara tidak langsung. “Kita
makan bersama dengan eonnie dan dongsaeng-dongsaeng-ku, bagaimana?”
“Baiklah, kalau itu maumu.” Si
lelaki terdiam, menunggu kalau-kalau Effie akan berbicara lagi. “Oya, namaku
Kim Kyoung Jae,” si lelaki mengulurkan tangannya pada Effie setelah Effie tak
kunjung berbicara lagi. “Kau bisa memanggilku Illai. E-L-I.”
“Lee Ji Hoon,” kata Effie sambil
menjabat tangan Eli. “Dan aku sedang membiasakan Effie sebagai namaku untuk
debut nanti.” Dilepas tangannya dari genggaman Eli. “Logat Oppa agak aneh. Oppa
bukan asli Korea?”
tanyanya penasaran.
Eli mengangguk kecil sambil
tersenyum. “Bisa dibilang begitu. Aku lahir di Los Angeles dan cukup lama
menetap di sana. Aku baru balik ke Korea beberapa tahun yang lalu,”
jawabnya. “Kakimu masih sakit karena bertabrakan denganku tadi?”
Effie menggeleng juga sambil
tersenyum. “I’m alright! Feel much
better, Oppa,” jawabnya. “Kau tidak terluka?”
“Mana bisa kau melukaiku! Tubuhmu
lebih kecil daripada tubuhku. Kemungkinan kau yang terluka lebih besar daripada
aku yang terluka,” candanya. “Tidak usah kau mengkhawatirkanku. Aku baik-baik
saja. Hanya nyeri sedikit saat jatuh tadi, tapi sekarang sudah hilang.”
Senyum Effie makin lebar mendengar
kata-kata Eli yang terdengar sangat bersahabat. Entah kenapa dia tidak kesal
lagi karena ditinggal teman-temannya.
***
“Langit malam ini mendung ya!
Kosong. Tidak ada bintang. Tidak ada bulan,” kata Eli ambil menatap langit dari
balkon dorm Effie dan kawan-kawan usai makan malam bersama. “Kau senang melihat
langit pada malam hari, Hoon?”
“Eh? Kadang-kadang,” jawab Effie
tergagap. Rupanya gadis itu dari tadi melamun. Kemana kalian?! Kenapa belum pulang?!, batinnya kesal setelah berkali-kali
melirik Gucci-ya. Dikiranya empat kawannya itu pulang duluan untuk membuat
makan malam. Nyatanya, saat Effie dan Eli sampai, mereka berdua tidak menemukan
seorang pun di sana. Jadilah, Effie yang membuat makan malam untuk mereka
berdua.
“Tenang saja. aku akan menemanimu
sampai mereka pulang,” kata Eli tiba-tiba seakan-akan tahu apa yang sedang
dipikirkan Effie.
Effie tersenyum kecil. “Tidak
masalah bagiku jika sendirian di sini. Lagipula, kalau Oppa tidak segera pulang, Oppa
akan kemalaman.”
“Tidak masalah bagiku jika
kemalaman. Aku mengkhawatirkanmu kalau kau sendirian. Tapi, kalau kau
menyuruhku pulang, aku akan pulang.”
Effie terdiam. Yah… apa salahnya meminta Eli Oppa menemaniku sebentar? Toh
kelihatannya Oppa ini orang baik. “Jadi… sebelum ini, Oppa pernah melatih dance
siapa saja?” tanyanya membuat topik untuk percakapan mereka.
“Sebenarnya baru kali ini aku
melatih dance,” aku Eli sambil
tersenyum malu.
“Benarkah?” tanya Effie tidak
percaya yang diangguki mantap oleh Eli. “ Tapi, Oppa profesional sekali saat melatih kami.”
“Tentu harus profesional!” seru
Eli. “Pekerjaanku yang sebenarnya sedang libur seminggu. Kebetulan Rijin itu
temanku. Jadilah, aku yang menggantikannya untuk melatih kalian dance.”
“Pekerjaan Oppa yang sebenarnya apa?”
“Sampai saatnya tiba kau pun pasti
tahu,” jawab Eli penuh rahasia.
Tiba-tiba, terdengar pintu dorm berderit terbuka. Tampaklah Chemi,
Redee, Ann J, dan Lenny memasuki dorm dengan bungkus plastik di tangan
masing-masing.
“Akhirnya mereka pulang juga!” kata
Effie, lalu berjalan meninggalkan Eli yang masih berdiri di balkon. “Kalian
dari mana sih?!” tanyanya dengan nada merajuk yang hanya dibalas dengan
cengiran oleh empat kawan-kawannya itu.
***
Keesokkan harinya, Effie datang
tepat waktu ke kantor agensinya untuk mengikuti latihan. Bahkan dia masih
mengenakan baju seragamnya karena dia tidak pulang ke dorm dulu untuk berganti baju. Masih tersisa dua puluh lima menit
lagi dari jadwal latihan yang sudah dijadwalkan dan baru dia saja yang datang. Seharusnya aku jangan terburu-buru, tapi
kalau aku pulang dulu, aku akan terlambat lagi, batin Effie.
Seseorang membuka pintu ruangan
itu. Tampak Eli kaget menyadari keberadaan Effie. “Kau belum sempat pulang?”
tanyanya sambil meletakkan tasnya di atas meja.
Effie mengangguk. “Aku takut
terlambat lagi seperti kemarin.”
“Dan hari ini kau sangat tepat
waktu, Hoon,” kata Eli sambil tersenyum. “Sudah berapa lama kau berada di
sini?”
Effie melirik Gucci-nya. “Sepuluh
menit, kurasa.”
“Sudah makan siang?” tanyanya lagi
yang digelengi Effie. Eli membuka tasnya dan mengambil sebuah kantung kertas
yang diserahkannya pada Effie. “Makanlah! Itu sandwich buatanku. Sebaiknya isi perutmu dulu sebelum latihan. Ini
akan menguras tenaga.”
Ragu-ragu, Effie menerima kantung
kertas itu. Ditatap Eli dengan senyumnya yang tersipu-sipu. “Terima kasih, Oppa…”
***
“Jadi, apa hubunganmu dengan
Kyoungjae Oppa?” tanya Redee
tiba-tiba pada Effie saat keduanya sedang berada di balkon dorm mereka malam itu.
“Siapa Kyoungjae Oppa?” Effie balik tanya dengan wajah
bingung.
“Pangeranmu, tentu saja! Bagaimana
kau bisa melupakan namanya?”
“Maksudnya Eli Oppa, Effie,” sahut Chemi yang tiba-tiba sudah bergabung dengan
mereka di balkon. “Aku juga penasaran dengan hubungan kalian berdua. Kalian
berpacaran?” tanyanya sambil menatap Effie lekat-lekat.
Yang ditatap malah tidak membalas
tatapan Chemi. Effie terdiam dengan kedua pipinya yang perlahan bersemu merah.
“Mana mungkin. Tidak seperti yang kalian duga,” jawabnya dengan suara pelan.
“Suaramu tidak meyakinkan.”
“Chemi Eonnie,” akhirnya Effie menghadap Chemi dengan wajah merajuk.
“Benar tidak ada apa-apa antara aku dan Eli Oppa.
Kami hanya berteman. Seperti kalian dengan Oppa.
Hanya itu.”
Redee dan Chemi saling pandang. Tampaknya
mereka masih belum percaya.
“Memangnya kenapa kalian menanyakan
itu?” tanya Effie. Tiba-tiba wajahnya tersenyum jahil. “Jangan-jangan kalian
menyukainya ya?” tebaknya.
“Yang benar saja!” seru Redee
cepat. “Dia memang tampan, tapi aku tidak tertarik padanya. Sama sekali tidak,”
jawabnya.
“Ya. Aku juga hanya menganggapnya
sebagai pelatih saja. tidak lebih,” jawab Chemi. Dia terdiam sejenak, seperti
ingin mengutarakan sesuatu. “Effie, kau ingat kan kalau besok hari terakhir
kita bertemu dengan Eli Oppa?”
Deg!
Jantung Effie terasa berhenti
berdetak mendengarnya. Gadis itu sama sekali tidak ingat tentang hal itu.
Bahkan dia lupa kalau Eli hanya menggantikan Rijin selama tiga hari saja. Dan
besok hari ketiga. Hari terakhir mereka bertemu Eli. Tiba-tiba, Effie terasa sesak. Gadis itu
terdiam sambil menatap langit dengan tatapan kosong.
“Kurasa, kau melupakan hal itu,”
kata Redee melihat reaksi kurang mengenakkan dari Effie. Dielus punggung
temannya itu penuh sayang. “Kita pasti akan merindukannya,” katanya sambil
menatap langit malam yang sepi.
Chemi memeluk bahu Effie dari
belakang. “Maafkan aku, Effie, karena telah mengingatkanmu tentang hal ini,”
katanya penuh penyesalan. “Aku takut besok kau akan lebih syok lagi jika aku
tidak mengingatkanmu sekarang. Melihat kedekatan kalian berdua, kau pasti akan
merasa sangat kehilangan saat dia pergi.”
Effie memegang tangan mereka dan
menggenggamnya. Tangannya terasa lemah dan dingin. Namun, wajahnya tersenyum.
Mencoba membuat kedua teman yang dicintainya itu tidak terlalu
mengkhawatirkannya. “Aku baik-baik saja. Percayalah! Dan akan terus baik-baik
saja,” katanya dengan suara pelan namun mantap. Tapi, apa iya?
***
Effie melirik Gucci-nya. Jam tujuh
malam. Sudah berjam-jam dia menghabiskan waktu di Daejoon Park, taman kota yang
terkenal itu. Dia sengaja bolos dari jadwal latihannya. Jungwoon, manager kelima gadis itu, berkali-kali
meneleponnya. Menanyakan keberadaan gadis itu. Namun, Effie tidak menjawabnya.
Dia hanya meminta izin pada manager-nya
itu untuk tidak latihan hari ini. Dengan berat hati, Jungwoon mengabulkannya
dengan syarat Effie tidak mendapatkan jatah free
day-nya minggu ini.
Effie menghela napas berat. Rasanya
ingin pulang. Tapi, dia belum siap untuk ditanya-tanya eonnie dan dongsaeng-dongsaeng-nya
atas keabsenannya hari ini. Apa mereka
sudah selesai latihannya?, pikirannya
menerka-nerka. Tiba-tiba saja wajah Eli melintas di pikirannya. Effie, kenapa kau masih saja memikirkan
lelaki itu?!, keluh
batinnya.
Dengan langkah berat, Effie pergi
dari bangku taman. Tanpa tahu tempat mana yang dituju, kakinya terus melangkah
dengan wajah menunduk. Sampai akhirnya, seseorang berdiri di hadapannya,
menghalangi jalannya.
“Kenapa kau bolos latihan di hari
terakhirku melatih kalian?” tanya orang itu.
Tanpa mengangkat wajahnya, Effie
sudah bisa menebak siapa orang itu. Orang yang hendak dilupakannya saat ini.
“Karena aku ingin,” jawabnya dengan kepala yang masih menunduk.
“Tatap wajahku saat kau
menjawabku!” tegas orang itu membuat Effie bergidik.
Effie mengepalkan tangannya.
Menguatkan dirinya yang belum siap untuk bertemu orang itu saat ini. Akhirnya,
Effie mengangkat wajahnya dan menatap orang itu dengan wajah datar yang
terlihat muram. “Karena aku ingin, Eli Oppa…”
ulangnya, lantas segera pergi meninggalkan Eli.
Dengan cekatan, Eli berhasil
mencegah kepergian Effie dengan menarik tangan gadis itu. Digenggam sekuat
tenaga hingga Effie meringis kesakitan.
“Oppa, sakit…” adu Effie sambil mencoba melepaskan tangannya.
“Tidak akan kulepas sebelum kau
bisa bersikap baik padaku!” ancam Eli tanpa mengendurkan sedikit pun
genggamannya.
“Baiklah, baiklah… longgarkan
genggamanmu dulu dan aku akan mematuhi apa yang kau pinta,” janji gadis itu
putus asa. Dan saat dirasakan genggaman Eli sedikit mengendur, Effie menatapnya
masih dengan wajah muram. “Sebenarnya apa yang Oppa inginkan? Menemuiku seperti saat ini.”
Eli terdiam mendengar
pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari bibir Effie. Matanya terus menatap
Effie tajam. Setelah menghela napas, dia berkata,”Bisakah kita bicarakan sambil
makan malam? Aku lapar sekali…”
***
Jam delapan malam. Effie dan Eli
sedang menyantap makan malam mereka di kedai pinggir jalan yang menjual aneka
mie dan sup. Keduanya diam sejak saat mereka mulai makan. Sibuk dengan pikiran
masing-masing.
“Kau tidak tahu bagaimana
perasaanku tadi saat kau tidak ikut latihan,” kata Eli membuka pembicaraan
sambil terus memakan mie-nya.
Effie memperhatikan laki-laki yang
duduk di hadapannya itu. Menunggunya melanjutkan kalimatnya. Namun, sepertinya
Eli sibuk sekali menghabiskan makan malamnya tanpa tahu dirinya sedang diperhatikan
Effie. “Jadi, bagaimana?” hanya itu yang keluar dari bibir Effie. Gadis itu
menyendok supnya pelan ke mulut.
Eli menghentikan makannya dengan
gerakan tiba-tiba. Ditatap Effie yang sedang meminum sup panasnya penuh
kehati-hatian. Bibirnya tersenyum tanpa sadar memperhatikan gadis di hadapannya
itu. “Tentu saja aku sangat sedih,” akunya, mengejutkan Effie. “Kau tahu, ini
hari terakhirku bertemu kalian. Dan mendapati ketidakhadiranmu di ruang latihan
siang tadi, aku sangat marah, kesal, juga sedih. Aku sangat berharap bisa
bertemumu, tapi kau tidak datang. Tapi, yah… lupakan saja! Kau tidak akan
pernah tahu bagaimana perasaanku sebenarnya saat itu.” Eli kembali melanjutkan
makannya.
Kini, Effie ganti menatap Eli. Dia
tidak bisa mempercayai apa yang didengarnya tadi. Benarkah? Benarkah Eli Oppa merasakannya? Namun, dia tidak berani menanyakan
itu padanya. Lelaki itu tampak asik sekali menghabiskan mie-nya yang masih sisa
separuh itu. Dia pun kembali menghabiskan sup panasnya.
Dan mereka menghabiskan makan malam
dalam diam.
***
“Kita sudah sampai!” seru Eli saat
keduanya sudah berada di gerbang masuk apartment
Effie tinggal.
“Yah… kita sudah sampai,” ulang
Effie dengan suara pelan dan tidak bersemangat. “Terima kasih, Oppa, sudah mengantarkanku pulang dan
atas makan malamnya,” kata Effie sambil membungkukkan badannya pada Eli.
“Dan terima kasih mau menemaniku
makan malam, Hoon,” kata Eli juga sambil membungkukkan badannya.
Keduanya terdiam sambil saling
tatap satu sama lain. Seakan mereka tidak ingin berpisah.
Akhirnya, Eli berkata,”Sungguh, aku
sedih karena hari ini hari terakhir kita bertemu. Besok aku sudah kembali sibuk
dengan pekerjaanku. Dan sulit rasanya untuk bisa menemuimu seperti ini. Makan
malam seperti ini…”
“Hentikan, Oppa…” potong Effie dengan suara bergetar. “Kau membuat semuanya
terasa berat. Terdengar menyedihkan untukku.”
“Maafkan aku, Hoon…”
Effie menggelengkan kepalanya
pelan. Sekuat tenaga dia berusaha tenang di hadapan lelaki itu saat ini. “Tidak
ada yang perlu dimaafkan, Oppa. Aku
baik-baik saja. sungguh…”
Eli menyadari bahwa Effie tidak
baik-baik saja saat itu. Diraih tangan Effie dan digenggamnya erat. Dia terdiam
sejenak. “Bisakah aku meminta sesuatu darimu, Hoon?”
Effie menatap Eli dengan tatapan
bingung. “Apa permintaanmu, Oppa?
Menurutku tidak masalah jika itu bukan permintaan yang aneh.”
Eli tersenyum. Setidaknya Effie
sudah tidak sesedih sebelumnya. “Bisakah kau tidak melupakanku? Dan sebagai
gantinya, suatu hari nanti aku akan meluangkan waktuku seharian penuh untuk
menghabiskan waktu denganmu. Bagaimana?”
Tiba-tiba saja Effie tertawa.
“Ada yang salah?” tanya Eli, merasa
aneh dengan respon gadis itu.
“Tidak,” jawab Effie singkat.
Ditatap lelaki itu dengan senyum lebar. “Tanpa perlu kau minta, aku tidak akan
melupakanmu, Oppa. Meski aku ingin,
tapi aku tidak bisa,” akunya. “Dan aku tidak perlu janjimu. Aku tahu kau sangat
sibuk dengan pekerjaanmu yang tidak kuketahui itu. Aku takut kau melupakannya.
Lagipula, aku tidak suka mengharapkan yang tidak pasti.”
“Tapi…”
“Tidak ada tapi-tapian, Oppa!” tegas Effie. “Kuharap kau bisa
memahami kemauanku itu. Tidak apa-apa kan, Oppa?”
Eli menatap tangannya yang masih
menggenggam tangan Effie. Dia tidak mengerti sepenuhnya pikiran gadis itu.
“Baiklah. Jika kau merasa itu baik bagi kita…”
“Kita?”
Wajah Eli langsung memerah.
Tiba-tiba saja dia menjadi salah tingkah dan melepaskan genggaman tangannya
begitu saja. Sebisa mungkin dia berusaha tenang, tapi gagal dilakukannya. Tadi
dia terlalu terbawa suasana hingga ucapan itu pun keluar begitu saja tanpa bisa
dicegah. Dan dia tidak bisa berpura-pura tidak pernah mengatakan itu
sebelumnya. Dia menatap Effie sambil tersenyum kikuk. “Sudah malam. Sebaiknya
kau cepat istirahat,” katanya, mengalihkan topik pembicaraan.
Effie hanya bisa tersenyum kecil
melihat sikap lelaki yang baru dikenalnya selama tiga hari ini. Eli tampaknya
tidak mau menjawab pertanyaannya tadi, dan dia tidak akan memaksanya. “Ya. Aku
akan segera tidur. Oppa, cepat pulang
saja! Biar tidak kemalaman di jalan.”
“Tahulah,” jawab Eli. “Sampai jumpa
lagi, Hoon…”
***
-THE END-
03.03.2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar